WahanaNews-Kalbar | Pada tahun 2016 lalu, para ilmuwan Jepang berhasil menemukan spesies bakteri pemakan plastik. Tentunya, ini menjadi penemuan yang luar biasa karena berpotensi dapat membantu mengatasi permasalahan sampah plastik global.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Science pada 11 Maret 2016, tim ilmuwan mengungkapkan bahwa bakteri itu ditemukannya ketika mengumpulkan botol plastik di luar fasilitas daur ulang.
Baca Juga:
Hari Lingkungan Hidup, PLN Libatkan Pegawai Olah Sampah Plastik Wujudkan Sustainable Development Goals
Umumnya, bakteri menghabiskan waktu mereka untuk menyerap bahan organik mati, tetapi bakteri yang dinamai Ideonella sakaiensis justru dapat "memakan" jenis plastik tertentu, yakni polietilen tereftalat (PET).
Setelah menganalisisnya, para ilmuwan menemukan bahwa bakteri tersebut menghasilkan dua enzim pencernaan yang disebut hidrolisis PET atau PETase.
Dilansir dari Live Science, Rabu (23/3/2022), enzim ini berinteraksi dengan plastik PET, kemudian memecah rantai molekul panjang menjadi rantai yang lebih pendek (monomer) atau asam tereftalat dan etilen glikol.
Baca Juga:
Hari Lingkungan Hidup, PLN Libatkan Pegawai Olah Sampah Plastik Wujudkan Sustainable Development Goals
Monomer ini dipecah lagi untuk melepaskan sebagai energi pertumbuhan bakteri.
Tak lama setelah penemuan bakteri pemakan plastik, sejumlah ilmuwan turut melakukan eksperimen menggunakan Ideonella sakaiensis untuk meningkatkan efisiensinya.
Salah satu uji coba yang dilakukan mereka adalah merekayasa genetika bakteri dalam memproduksi enzim seperti E.coli, lalu mengubahnya menjadi pabrik PETase.
Kendati penemuan ini menawarkan harapan untuk mengatasi sampah plastik di dunia yang sudah melebihi kapasitas, para ilmuwan mengingatkan bahwa masih butuh banyak waktu untuk pemanfaatan bakteri secara luas.
Selain itu, mereka menggarisbawahi enzim PETase sejauh ini hanya mampu menguraikan plastik PET.
Sementara itu, ada enam jenis plastik lainnya yang masih belum bisa diuraikan dengan menggunakan enzim tersebut.
Menyusul eksperimen bakteri pemakan plastik itu, para peneliti di University of Portsmouth juga merekayasa ulang enzim PETase untuk membuat enzim "koktail" yang diklaim dapat mencerna plastik hingga enam kali lebih cepat.
Menurut studi tahun 2020 yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), mereka menggabungkan PETase dengan enzim pemakan plastik lain yang disebut MHETase, untuk membentuk satu enzim super.
Dijelaskan tim, gabungan enzim PETase-MHETase dibuat menggunakan sinkrotron yakni sejenis akselerator partikel menggunakan sinar-X yang 10 miliar kali lebih terang daripada matahari.
Cara tersebut memungkinkan para peneliti untuk melihat atom dari setiap enzim dan mendesain cetak biru molekulernya. Selanjutnya, mereka menyatukan DNA untuk membentuk enzim yang juga dapat memecah Polyethylene furanoate (PEF), bioplastik berbasis gula.
Di sisi lain, tim peneliti di University of Edinburgh pun telah melakukan eksperimem menggunakan bakteri E. coli untuk mengubah plastik menjadi vanillin, komponen utama ekstrak biji vanili.
Setelah mendegradasi plastik PET berdasarkan monomer dasarnya, para peneliti mengubah salah satu monomer tersebut yakni asam tereftalat, menjadi vanilin melalui serangkaian reaksi kimia.
Vanillin yang dihasilkan ini, diyakini layak untuk dikonsumsi manusia kendati penelitian lebih lanjut masih diperlukan.
Para ahli percaya bahwa bakteri pemakan plastik dapat membantu mengatasi setidaknya 14 juta ton plastik, yang dibuang ke lautan setiap tahun. Sebab, polusi plastik menyebabkan dampak pada ekosistem laut serta dapat memengaruhi kesehatan manusia.
Berdasarkan catatan International Union for Conservation of Nature (IUCN), begitu sampah plastik memasuki lautan, benda ini dapat mencekik dan menjerat hewan.
Di samping itu, mikroplastik juga dicerna oleh banyak spesies laut yang pada akhirnya akan dikonsumsi manusia. Jika dimakan, mikroplastik dapat melarutkan kontaminan beracun di permukaannya ke dalam tubuh organisme.
Racun tersebut bisa menumpuk dan berpindah dari ikan yang hidup di laut, ke tubuh manusia yang mengonsumsinya. Sedangkan di darat, permasalahan plastik tak lepas dari dampaknya pada lingkungan.
Sebagian besar plastik berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar, yang melepaskan asap beracun apabila dihirup manusia. [Ss/bay]