WahanaNews-Kalbar | Akhir tahun lalu, Kepala Defense Acquisition Program Administration (DAPA) Korea Selatan, Kang Eun-ho yang bertanggungjawab atas segala proyek jet tempur KF-21 Boramae, menggelar pertemuan dengan para pejabat Indonesia.
Dalam pertemuan tersebut disepakati bagaimana Indonesia nantinya akan membayar tunggakan biaya proyek jet tempur KF-21 Boramae ke Korea Selatan.
Baca Juga:
Mengenal Dassault Falcon 7X dan 8X, Pesawat Jet VVIP Terbaru yang Dibeli TNI-AU
"Korea Selatan dan Indonesia mencapai kesepakatan pada hari Rabu tentang pembayaran yang harus dilakukan Indonesia untuk proyek jet tempur (KF-21 Boramae) bersama mereka," dikutip dari Korea Herald, Selasa, (25/1).
Dalam pertemuan itu terungkap bahwa Indonesia akan melakukan pembayaran KF-21 Boramae dengan cara mencicil.
Uniknya, skema imbal dagang kembali digunakan Indonesia untuk membayar tunggakan KF-21 Boramae.
Baca Juga:
Bareskrim Polri Sudah Periksa Brigjen Hendra Kurniawan Terkait Jet Pribadi
Indonesia akan membayar menggunakan komoditas seperti minyak sawit (CPO), karet mentah hingga hasil bumi lainnya.
"Indonesia akan melakukan pembayaran selama lima tahun ke depan hingga 2026, dan tiga puluh persen dari itu akan menjadi transfer dalam bentuk barang," kata DAPA.
Penggunaan komoditas ini lantaran keuangan Indonesia tidak stabil akibat pandemi Covid-19.
Menyoal nantinya komoditas apa yang akan Korea Selatan minta, DAPA masih akan mengadakan pertemuan lagi secara terpisah dengan Kementerian terkait Indonesia.
"Kami memiliki rutinitas terpisah, jadi apa yang kami buat di sini masuk ke gudang kami dan apa yang dibangun oleh orang Indonesia di sana akan masuk ke milik mereka," kata seorang pejabat DAPA.
Indonesia diperkirakan akan menerima 48 unit KF-21 Boramae dan Korea Selatan sebanyak 120 unit.
Dikutip dari Hankyoreh, menurut pejabat DAPA, opsi pembayaran untuk Indonesia beragam, termasuk perlengkapan militer, produk biasa, sumber daya bawah tanah, dan lain-lain.
Pejabat itu menambahkan bahwa rincian mengenai jenis dan jumlah barang tertentu akan dibahas di kemudian hari.
Bahkan jika Indonesia memutuskan untuk membayar dengan sumber daya alam, tidak ada perjanjian yang akan merugikan importir dalam negeri akan ditandatangani.
“Misalnya, jika minyak sawit digunakan untuk membayar proyek, maka ini dapat dijual ke luar negeri tanpa harus membayar untuk memasuki Korea Selatan terlebih dahulu," ujar pejabat tersebut.
Berbeda dengan pejabat DAPA yang girang akan dapat minyak sawit Indonesia untuk pembayaran KF-21 Boramae, rakyat Korea Selatan justru menganggap hal ini sebagai negosiasi memalukan.
“Minyak kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng terutama digunakan untuk menggoreng makanan ringan seperti kerupuk udang. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana membawa minyak sawit senilai 480 miliar won ke Korea dan mencernanya,” sebut media Korsel.
Apalagi minyak sawit bukanlah 'minyak sehat' karena banyak mengandung asam lemak jenuh.
Ada pendapat bahwa lebih baik mengimpor pisang dari Indonesia.
Seolah sadar akan hal ini, seorang pejabat dari DAPA menekankan, 'Ada cara untuk menjual minyak sawit ke luar negeri melalui perusahaan perdagangan dalam negeri ketimbang menerimanya di pasar'," tulis media Korea Selatan tersebut. [As]