WahanaNews-Kalbar | Pendakwah yang terjerat dugaan kasus penistaan agama kristen, Yahya Waloni, hanya bisa pasrah dan mengaku siap menjalani apa pun hukuman yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Yahya menyampaikan hal ini saat menanggapi tuntutan Jaksa atas kasus penyebaran ujaran kebencian bermuatan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Baca Juga:
Kasus Ujaran Kebencian, Yahya Waloni Divonis 5 Bulan Penjara
"Dari awal sudah saya mengatakan kepada pihak kepolisian bahkan keluarga saya, berapa pun tuntutan yang diberikan, saya akan menjalaninya sebagai laki-laki," kata Yahya dalam persidangan yang digelar di PN Jaksel, Selasa (28/12).
Yahya menyebut penjara merupakan universitas terbaik yang akan membuat dirinya sadar dan tidak akan kembali mengulangi perbuatannya. Yahya menekankan kasusnya merupakan pembelajaran bagi masyarakat.
Dia juga menyatakan tidak akan terjun ke dunia politik dan terkontaminasi isu politik. Menurutnya, seorang pendakwah tidak pantas hidup bertumpu pada kepentingan politik.
Baca Juga:
Pengadilan Vonis Yahya Waloni 5 Bulan Penjara Karena Kasus Ujaran Kebencian
"Saya tidak akan terjun, saya tidak akan terkontaminasi berbagai isu politik karena tidak pantas saya sebagai seorang pendakwah untuk hidup dan bersama-sama bertumpuan dengan kepentingan politik," ujar Yahya.
Yahya menyadari semua perkara yang menjeratnya disebabkan karena dinamika dan pilihan politik yang ada di masyarakat. Ia juga berjanji akan merangkul semua kelompok masyarakat.
"Saya sadar semua ini karena dinamika-dinamika dan pilihan-pilihan politik yang ada di masyarakat," ujar Yahya.
Yahya lantas menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh warga Indonesia, termasuk umat Islam yang karena perbuatannya dunia dakwah telah tercoreng.
Secara khusus, ia juga meminta maaf kepada umat Nasrani.
"Dan secara khusus permohonan maaf saya ajukan pada saudara-saudaraku kaum Nasrani yang ada di seluruh lapisan masyarakat Indonesia," tuturnya.
Sebelumnya, Yahya Waloni didakwa telah menyebarkan informasi yang memuat ujaran kebencian berdasarkan suku, ras, agama, dan antar golongan (SARA).
Ia ditangkap Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada Kamis (26/8).
Jaksa menyebut materi kebencian itu disampaikan Yahya Waloni dalam ceramah di Masjid Jenderal Sudirman, WTC, Jakarta Pusat.
Yahya menyebut kitab Bibel Kristen palsu. Ia juga memelesetkan frasa 'roh kudus' menjadi 'roh kudis', 'Stephanus' menjadi 'tetanus'.
Yahya juga menyebut pendeta melakukan perbuatan tercela dengan melihat perempuan berpakaian terbuka dari atas mimbar.
Selain dihadiri ratusan orang, ceramah Yahya Waloni juga direkam dan diunggah di media sosial Youtube.
Yahya kemudian memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) agar video ceramahnya yang membuat umat Nasrani tersinggung dihapus.
Yahya juga meminta hakim bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk menghapus video-video yang memuat dirinya di internet.
Permintaan ini Yahya sampaikan saat menanggapi tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
"Saya memohon kepada Hakim yang Mulia semua konten video saya terkait bersinggungan, yang telah menyakiti, yang telah melukai perasaan saudara-saudara saya kan Nasrani tolong bekerja sama dengan Kominfo dan dihapus," kata Yahya.
Atas kasus ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Yahya Waloni dengan pidana penjara tujuh bulan dan denda Rp50 juta subsidair satu bulan kurungan terkait kasus dugaan ujaran kebencian bermuatan SARA. [As]