WahanaNews-Kalbar | Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepakat dengan adanya wacana larangan penjualan rokok eceran di masyarakat.
Hal itu diungkap boleh Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM Mayagustina Andarini.
Baca Juga:
Polda Sulsel Tetapkan Tiga Tersangka Peredaran Kosmetik Berbahaya di Makassar
Pasalnya, wacana larangan penjualan rokok eceran itu diharapkan dapat menekan konsumen rokok di tanah air.
Menurut Mayagustina, dengan adanya rokok eceran, konsumsi rokok menjadi meningkat hingga kalangan anak dibawah umur.
"Kami setuju dengan rekomendasi kebijakan pengendalian tembakau yang perlu ditingkatkan, yaitu simplifikasi tarif Cukai dan pelarangan penjualan rokok batangan," katanya dalam Webinar Diseminasi Hasil Survei Harga Transaksi Pasar Rokok 2021, belum lama ini.
Baca Juga:
Awas! 6 Produk Kosmetik Sulsel Terbukti Mengandung Merkuri
"Jadi kalau bisa, ini didukung oleh seluruh stakeholders, ini akan sangat bagus," ucap Mayagustina menambahkan.
Namun untuk menerapkan aturan tersebut bukanlah perkara mudah. Kesulitan di antaranya terkait mengatur para penjualan rokok terhadap toko dan warung kecil, apalagi di daerah tepian.
"Tetapi Memang agak susah ya kalau itu sampe di warung-warung, sampai yang toko-toko kecil, daerah-daerah perifer (tepi), remote area, itu mengontrolnya," ujar Mayagustina.
"Namun kalau memang ada sanksi yang tegas, saya kira ini akan bisa dipatuhi. Jadi yang penting itu adalah adanya sanksi," tuturnya.
Mayagustina Andarini pun merujuk pada data dari Badan Pusat Statistik tahun 2021 yang menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran perkapita masyarakat untuk rokok menempati posisi nomor satu.
Bahkan, pengeluaran masyarakat untuk rokok bisa menyalip pengeluaran terhadap beras sebagai kebutuhan pokok.
"Tahun 2021 menunjukkan rata-rata belanja rokok perkapita itu Rp 76.583, sedangkan belanja padi-padian itu Rp 69.786. Artinya rokok ini menjadi konsumsi terbesar," kata Mayagustina.
Tidak hanya itu, dia juga mengaku prihatin dengan tingkat konsumsi masyarakat untuk rokok yang sangat besar. Apalagi, konsumsi rokok tersebut didominasi oleh masyarakat rentan.
"kami juga melihat, prihatin juga bahwa dengan adanya penjualan rokok eceran ini pendapatan pedagang rokok mencapai Rp 400 ribu per hari. Ya artinya konsumsi masyarakat untuk rokok ini sangat besar, terutama untuk masyarakat yang rentan," ucap Mayagustina.
"Nah ini yang kita mesti perhatikan, selain masalah cukai dan sebagainya, masalah kesehatan pun juga harus diperhatikan," ujarnya menambahkan.
Mayagustina mengatakan rokok yang dijual batangan bisa meningkatkan keuntungan maksimum bagi pedagang eceran dan produsen, serta meningkatkan daya beli.
"Karena kan daripada membeli satu bungkus, membeli eceran lebih murah. Jadi lebih terjangkau bagi orang yang miskin dan juga anak-anak yang uang sakunya terbatas sehingga dia mampu untuk membeli," katanya.
"Padahal kan sudah jelas bahwa Merokok itu untuk anak-anak tidak boleh tapi karena murah dan ingin coba-coba, ini memberikan peluang dan ini harus diberikan perhatian khusus, termasuk sanksinya juga harus tegas," tutur Mayagustina menambahkan.
Dia pun menuturkan bahwa jumlah perokok anak di Indonesia akan semakin banyak dengan adanya penjualan batangan ini.
"Dan tentu saja terjadi kegagalan tercapainya target prevalensi perokok pada anak yang tercantum pada RPJMN 2020-2024 yang sebesar 8,7, jadi akan sulit tercapai kalau anak-anak ada peluang untuk bisa membeli rokok eceran ini," ujar Mayagustina. [Ss]