WahanaNews-Kalbar | Kelebihan pasokan atau over supply listrik RI dalam satu dekade terakhir ini rata-rata mencapai 25% setiap tahunnya. Adapun angka tersebut dipastikan akan terus meningkat hingga beberapa tahun mendatang.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai over supply listrik menjadi salah satu ancaman yang cukup serius bagi keuangan negara karena bagaimanapun pemerintah masih memberikan subsidi dan kompensasi listrik kepada PLN.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Abra pun membeberkan data kelebihan pasokan listrik selama 10 tahun terakhir ini.
Pada 2021 misalnya, kapasitas terpasang listrik adalah sebesar 349 ribu Giga Watt hour (GWh). Sedangkan energi listrik yang terjual pada periode tersebut hanya 257 ribu GWh, artinya terdapat selisih 26,3%.
"Jadi selama satu dekade terakhir itu rata-rata over supply 25% saya coba hitung potensi pemborosan akibat over supply ini kalau dengan asumsi biaya pokok perolehan listrik itu Rp 1.333 per kWh itu kalau dikonversi dengan over supply yang 26,3% kurang lebih Rp 122,8 triliun tahun lalu," kata Abra seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (30/9/2022).
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Berdasarkan data yang ia paparkan, over supply listrik setidaknya sudah terjadi sejak tahun 2012, di mana pada tahun tersebut RI kelebihan pasokan listrik sebesar 24,72%. Berlanjut di tahun 2013 sebesar 22,61%, 2014 sebesar 26,80%, lalu di tahun 2015 sebesar 26,99%.
Berikutnya, di tahun 2016 sebesar 24,82%, tahun 2017 over supply sebesar 24,09%, di tahun 2018 22,89%, 2019 sebesar 25,66%, 2020 naik menjadi 26,83%, dan di tahun 2021 sebesar 26,35%.
Menurut Abra, kelebihan pasokan listrik yang berlebih saat ini paling tidak harus segera diatasi. Mengingat dalam kontrak jual beli listrik dengan pengembang listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), PLN dikenakan skema "Take or Pay".