WahanaNews-Kalbar | Puluhan pohon kelapa sawit di Desa Sandai Kiri, Kecamatan Sandai, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (Kalbar) terancam mati terdampak limbah pertambangan bauksit.
Sang pemilik, Juliannadi, mengatakan dalam melakukan aktivitas pertambangan, pihak perusahaan tidak membuat parit atau pembatas sehingga lumpur dan bekas angkutan tumpah mengalir ke kebun sawitnya.
Baca Juga:
Nasabah Tikam Debt Collector di Sambas Gegara Pelaku Emosi Istrinya Diminta Korban
"Ini kebun nenek saya, sudah ditanam sejak 8 tahun lalu dan sekarang rusak parah," kata Juliannadi saat dihubungi, Jumat (20/5/2022).
Juliannadi menuding peristiwa tersebut kelalaian perusahaan karena sudah sering terjadi. Terlebih saat musim hujan.
"Posisi jalan dan aktivitas operasional perusahaan di dataran tinggi, sedangkan kebun dan sawah masyarakat berada di dataran rendah. Jadi limbahnya mengalir ke kebun," ucap Juliannadi.
Baca Juga:
Pria di Kalbar Aniaya Istri hingga Tewas Gara-gara Disebut Lebih Muda
Julianndai menyebut, setidaknya 26 pohon kelapa sawit yang sudah berusia 8 tahun rusak bahkan ada yang hampir mati.
Kejadian ini sudah sekitar 4 bulan lalu tapi sampai sekarang perusahaan masih tidak bertanggung jawab dan tidak mengganti rugi.
Padahal, lanjut Juliannadi, pihak perusahaan telah mengetahui kejadian ini, bahkan telah turun ke lapangan untuk mengecek dan penghitungan jumlah pohon kelapa sawit yang terdampak.
"Kami telah sampaikan secara lisan bahkan tertulis sejak April prihal tuntutan ganti rugi namun sampai sekarang perusahaan hanya menjawab akan disampaikan ke pimpinan pusat," kesal Juliannadi.
Juliannadi menuntut ganti rugi untuk satu pohon yang rusak sebesar Rp 8 juta.
Pasalnya, sudah banyaknya biaya yang dikeluarkan selama 8 tahun menanam, mulai dari pembukaan lahan hingga perawatan serta hitungan berapa banyak keuntungan dari kebun kelapa sawit jika tidak rusak karena terkena aktivitas perusahaan.
"26 pohon yang rusak itu perusahaan yang menghitung langsung ke lapangan, namun mereka secara lisan menyampaikan cuma mau mengganti rugi Rp 20 juta. Kami tolak," tegas Juliannadi.
"Karena itu tidak masuk akal, sama saja mau membunuh kami masyarakat kecil dengan mengganti rugi semau perut perusahaan," timpal Juliannadi.
Juliannadi menerangkan, setelah penolakan itu, pihak perusahaan belum memberi respons apapun. Sempat dilakukan dimediasi kepolisian, juga gagal.
"Padahal dalam mediasi itu jelas perusahaan mengakui kalau itu akibat lumpur mereka. Namun lagi-lagi mereka tidak memberikan kepastian dan hanya mengatakan masih menunggu keputusan managemen pusat," ujar Juliannadi.
Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Sandai Kiri Harman membenarkan ada kebun kelapa sawit milik warganya yang rusak akibat dari aktivitas operasional dan aliran lumpur pertambangan bauksit.
"Saya juga sudah ke lapangan bersama warga dan pihak perusahaan untuk melihat langsung," kata Harman.
Harman, peristiwa bukan kali pertama. Dia kerap mendapat laporan serupa dari masyarakat.
"Perusahaan berpikir, masalah bisa diselesaikan dengan ganti rugi, tapi tidak berpikir betapa beharganya kebun atau sawah bagi masyarakat dan selalu beranggapan semua masalah bisa selesai dengan uang dan tidak berpikir dampak lingkungan," ucap Harman.[ss]