WahanaNews-Kalbar | Gubernur Kalimantan Barat, Sutarmidji, mengatakan pihaknya sudah mengingatkan perusahaan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Pihaknya akan menindak tegas perusahaan yang di lahannya terdapat titik apa.
Baca Juga:
Kalbar Ajak Masyarakat Tanam Pohon Bernilai Ekonomis
"Sekarang juga kita ingatkan kepada seluruh perkebunan, kita tidak mau tahu kalau ada titik api di koordinat mereka, maka akan kita sanksi," kata Midji dalam diskusi yang digelar Kementerian Kominfo, Senin 19 Juni 2023.
"Mau siapa bakarnya, kenapa terjadi api, itu terserah. Pokoknya ada di koordinat mereka," tegas Midji.
Sutarmidji mengungkapkan, berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, pada 2019, kebakaran lahan paling banyak terjadi di wilayah perkebunan.
Baca Juga:
Pemprov Harapkan HAPPI Mengoptimalkan Potensi Kawasan Pesisir Kalbar
Mendapati fakta itu, pihaknya kemudian melakukan tindakan tegas.
"Ternyata kebakaran di 2019 itu paling besar koordinat perkebunan perkebunan bukan masyarakat. Langkah penegakan hukum ketika 2019 itu, kita sudah melakukan tindakan-tindakan yang sangat-sangat tegas," ungkapnya.
"Ada penyegelan 67 perusahaan, peringatan pada 157 perusahaan. Pidana 5 perusahaan dan 1 perorangan," tambahnya.
"Kalau penegakan hukum seperti ini bisa kita lakukan, maka perusahaan-perusahaan itu akan menjaga wilayah dia," ungkap Midji.
Penegakan hukum yang dilakukan, terbukti membuat angka Karhutla menurun.
Gubernur Midji mengatakan, tidak mungkin pemerintah bisa menjaga. karena luas lahan gambut di kalbar ini yang luasnya 2,8 juta hektare.
Dari 2,8 juta hektare ini yang tidak rusak cuman 0,09 persen.
Sementara 80,43 persen rusak ringan.
Rusak sedang 16,45 persen, rusak berat 2,75 persen dan rusak sangat berat 0,28 persen.
"Sebagian besar gambut yang rusak ini di area konsesi perkebunan. Makanya 2019 itu saya ambil tindakan beri peringatan ke 130 perkebunan. Kita tak bisa hanya berkutat seperti sekarang ini," katanya.
Sutarmidji mengatakan, dari 6 poin pesan Presiden Jokowi soal Karhutla, menurutnya yang terpenting adalah di poin 3 dan enam.
Poin tiga terkait solusi permanen dan poin enam mengenai langkah penegakan hukum.
Dirinya punya beberapa saran yang harusnya menjadi ranah pemerintah pusat.
"Penegakan hukum itu, perlu langkah tegas dengan memberikan sanksi pembekuan izin, kalau perkebunan atau denda yang sudah ditentukan nominalnya. Jangan lewat putusan pengadilan. Itu susah. Nanti pengadilan negeri putuskan denda 1 triliun. Nanti sampai ke MA bisa bebas atau tinggal 100 juta," paparnya.
"Nominalnya tentukan. Setiap ada kebakaran lahan. Minimal dikenakan biaya pemadaman. Jadi negara tak rugi. Kemudian melarang pemanfaatan lahan dalam jangka waktu tertentu. misalnya 10 tahun bagi lahan hak milik dengan luasan tertentu bagi yang buka lahan dengan membakar,"
Selain itu, melakukan pemberdayaan masyarakat yang mengolah lahan tanpa bakar dengan jenis tanaman umbi - umbian yang panennya diatas 7 (tujuh) bulan dan tanaman sayuran.
Midji mencontohkan tanaman talas di Singkawang.
"Sangat cocok. Singkawang itu talasnya bisa sampai 7 kilo. Kemudian setelah mereka tanam, kita siapkan pabrik tepungnya. Terakhir, harus tersedia Peta Topografi Ekosistem Gambut skala 1 : 50.000 sebagai bahan perencanaan letak/posisi pembuatan sumur bor," katanya.
"Karena (Badan) Restorasi Gambut itu buat sumur bor banyak tapi gak ada airnya. Ada yang dibuat dekat lembahkan gak ada manfaatnya," kata Midji.
"Harusnya di ketinggian supada ada pembasahan. Pembasahan itu lebih penting. Nggak ada api pun harus dibasahkan lahan gambut itu. Karena ada lahan gambut yang tebalnya sampai 13-14 meter dan itu perlu air banyak kalau terjadi kebakaran," katanya.
"Sumber air ketika terjadi terjadi kebakaran itu jauh, akhirnya harus menggunakan sumur pompa, sumur bor. Kadang sumur bor asal pasang saja," tegasnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Teraju Indonesia, Agus Sutomo mengapresiasi pekerjaan Pemprov Kalbar yang terus melakukan sosialisasi dampak dari kebakaran hutan dan lahan bagi kesehatan dan konferensi lahan berlebih lebihan di lahan gambut.
"Artinya kesadaran yang luar biasa ini timbul dari masyarakat kita, Berladang atau bertani tanpa membakar sudah mulai pelan-pelan mereka pamahi dampak dan impek nya," katanya.
Tambah lagi masyarakat kita sadar bahwa konferensi hutan yang berlebih-lebihan hari ini untuk sektor perkebunan sawit dan pertambangan yang sangat bar bar.
Sehingga membuat masyarakat kita mengerti bahwa jika kita membakar lagi maka akan berdampak kepada kesehatan mereka dan sekitar.
Kemudian karena memang curah hujan cukup tinggi, jadi kebakaran yang terjadi bisa padam dan lahan menjadi basah.
Selanjutnya, perlu dilakukan penghijauan kembali terhadap lahan gambut.
Selain pola pertanian, penghijaun kembali bisa dilakukan dengan menanami kembali tanaman endemik gambut.
“Kubah-kubah gambutnya juga perlu diperhatikan dan diperbaiki segala sesuatunya, sehingga gambutnya tetap terjaga,” kata Sutomo.
Sutomo juga menegaskan perbaikan tata ruang daerah menjadi penting. Kita selalu berbicara tata ruang melalui pusat sehingga sudah terpetakan semua untuk peruntukan tata ruang di Kalimantan Barat ini.
"Hampir rata-rata untuk infestasi, ini mesti jelas juga untuk perbaikan demi penataan ruang," tegasnya.
Daerah punya kepentingan besar untuk memajukan rakyat nya.
Sehingga penataan ruang dengan perspektif lingkungan bagaimana pengelolaan gambut yang lestari itu menjadi sangat penting.
Di sektor industri juga penting, dengan melibatkan buruh karena mereka ujung tombak, bukan hanya perusahaan dan pemerintah.
“Tapi aktor utamanya ialah buruh untuk di ajak melakukan perbaikan-perbaikan lingkungan. Baik itu di gambut maupun hutan karena mereka yang akan bekerja dan diminta perusahaan untuk bekerja,” kata Sutomo.
Tak lupa juga perlindungan-perlindungan terhadap buruh yang harus di maksimalkan.
Ketika buruh menolak menggusur gambut atau menolak untuk menggusur hutan itu juga harus mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah.
Dalam taraf keamanan misalnya, sehingga tidak di kriminalisasi oleh perusahaan ketika buruhnya melakukan tindakan menentang akan kebijakan perusahaan.
"Karena memang mereka ngerti itu akan merusak lingkungan yang akan berdampak pula pada perubahan iklim," paparnya.
Sebab, memang Karhutla rata-rata berada di konsensi perusahaan, itu terbukti pada tahun 2019.
Pemerintah melakukan pencabutan warning dan teguran kepada perusahaan bahkan sudah ada yang masuk ke pengadilan.
"Ketika bicara berkelanjutan, sektor-sektor buruh, masyarakat, pemerintah dan perusahaan harus bergandeng satu sama lain," imbuhnya.[ss]