WahanaNews-Kalbar | Perubahan iklim yang terjadi berkepanjangan membawa dampak yang begitu luas terhadap kehidupan manusia.
Penting pula untuk menengok jauh ke belakang. Sebab, jumlah akumulasi karbon dioksida (CO2) yang dilepaskan dari berbagai aktivitas manusia, bahkan sejak awal revolusi industri, erat kaitannya dengan situasi saat ini.
Baca Juga:
PLN Ungkap Rincian Dana yang Dibutuhkan untuk Transisi Energi Tanah Air
Dikutip dari data analisa Carbon Brief, Minggu (3/4/2022), secara total, manusia telah menghasilkan sekitar 2.500 miliar ton CO2 ke atmosfer, sejak 1850.
Menyisakan kurang dari 500 miliar ton CO2 dari sisa anggaran karbon agar tetap berada di bawah 1,5 derajat Celcius dari pemanasan global.
Carbon Brief melihat secara historis tanggung jawab atas emisi CO2 selama periode 1850-2021.
Baca Juga:
PLN Ungkap Rincian Dana yang Dibutuhkan untuk Transisi Energi Tanah Air
Sebab, menurut wakil editor Carbon Brief, Dr Simon Evans, kepada The Straits Times, ada korelasi kuat antara jumlah total CO2 yang dilepaskan oleh aktivitas manusia dan tingkat pemanasan di permukaan bumi saat ini.
Selain emisi dari bahan bakar fosil, analisa juga mencakup emisi CO2 dari penggunaan lahan dan kehutanan.
Analisa tersebut melihat total berdasarkan emisi CO2 teritorial, di mana emisi telah terjadi.
Selain itu, analisa juga melihat dampak penghitungan emisi berbasis konsumsi untuk mencerminkan perdagangan barang dan jasa yang padat karbon.
CO2 bertahan selama berabad-abad di atmosfer.
Semakin banyak yang dilepaskan, maka semakin banyak pula panas yang terperangkap.
Artinya, emisi CO2 dari ratusan tahun lalu terus berkontribusi pada pemanasan planet bumi hingga hari ini.
Negara Penyumbang Emisi CO2 Terbesar Sejak 1850
Menurut analisa Carbon Brief, Amerika Serikat menjadi penyumbang emisi CO2 terbesar sejak 1850, yakni 509 miliar ton atau 20 persen dari total emisi secara global.
Di bawahnya ada China (11 persen), Rusia (7 persen), Brasil (5 persen), dan Indonesia (4 persen).
Dua negara yang disebut terakhir ada pada daftar ini sebagian besar karena deforestasi.
Sementara di urutan berikutnya secara berturut-turut adalah Jerman, India, Inggris, Jepang, dan Kanada.
Untuk Jerman, emisi kumulatif diakibatkan oleh industri energi yang bergantung pada batu bara, menggambarkan bagaimana sektor lahan di beberapa negara telah menjadi penyerap CO2 kumulatif.
Secara lengkap, berikut urutan negara penghasil emisi CO2 terbanyak selama 1850-2021:
1. Amerika Serikat (20,3 persen)
2. China (11,4 persen)
3. Rusia (6,9 persen)
4. Brasil (4,5 persen)
5. Indonesia (4,1 persen)
6. Jerman (3,5 persen)
7. India (3,4 persen)
8. Inggris (3 persen)
9. Jepang (2,7 persen)
10. Kanada (2,6 persen)
Pada akhir 2021, dunia secara kolektif menghabiskan sekitar 86 persen anggaran karbon untuk 50 persen kesempatan tetap di bawah 1,5 derajat Celcius.
Artinya, dengan tingkat emisi CO2 tahunan saat ini, anggaran karbon yang tersisa akan habis dalam waktu sekitar satu dekade, menempatkan dunia pada jalur menuju iklim ekstrem yang jauh lebih besar.
Hasil analisis yang mencolok adalah kontribusi historis dari penggunaan lahan dan kehutanan, yang menambahkan 786 miliar ton CO2 dari tahun 1850 hingga 2021.
Itu hampir sepertiga dari total kumulatif. Dua pertiga sisanya berasal dari bahan bakar fosil dan semen, dengan produksi semen saja menyumbang sekitar 7 persen dari emisi CO2 manusia.
Hasil analisa yang cukup mencolok adalah kontribusi sejarah dari penggunaan lahan dan kehutanan.
Aktivitas tersebut menambah 786 miliar ton CO2 selama periode 1850-2021 atau hampir sepertiga dari total kumulatif.
Dua pertiga sisanya berasal dari bahan bakar fosil dan semen, dengan produksi semen saja menyumbang sekitar 7 persen dari emisi CO2.
"Menurut kami analisa ini menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan penggunaan lahan dan emisi deforestasi, serta tidak hanya fokus pada emisi bahan bakar fosil," ungkap direktur dan editor Carbon Brief, Leo Hickman kepada The Straits Times.
Data untuk analisa ini diambil dari daftar panjang berisi banyak sumber.
Untuk data fosil, misalnya, perkiraan emisi CO2 historis nasional dari bahan bakar fosil dan produksi semen, dikembangkan oleh Pusat Analisis Informasi Karbon Dioksida (CDIAC) di AS dan diadaptasi oleh Proyek Karbon Global.
Data CDIAC kini dipelihara dan diperbarui oleh Pusat Energi Appalachian di Universitas Negeri Appalachian, berlangung sejak 1750 hingga hari ini.
Sementara perkiraan CO2 fosil historis didasarkan pada metodologi yang dikembangkan pada 1984 dan sejak saat itu telah disempurnakan.
Secara umum, datanya menggunakan catatan produksi, perdagangan dan penggunaan bahan bakar fosil, serta perkiraan jumlah CO2 yang dilepaskan ketika batubara, minyak, atau gas dibakar dengan berat tertentu.
Laporan lengkap tentang analisa ini bisa dibaca di laman Carbon Brief. [Ss/gun]