WahanaNews-Kalbar | Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin, menekankan, tindak pidana korupsi di Indonesia telah menjadi pandemi hukum.
Sebab, meskipun ribuan koruptor dan perkara telah diputus, kualitas dan kerugian yang timbul akibat tindak pidana korupsi semakin meningkat.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
Hal tersebut disampaikannya saat menjadi keynote speaker dalam webinar bertajuk “Hukuman mati bagi Koruptor, Terimplementasikah?”, yang dihelat Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Menurut Burhanuddin, pemberantasan korupsi membutuhkan efek jera sebagai upaya represif.
Salah satu terobosan hukum yang diperlukan bagi Kejaksaan, katanya, adalah penerapan hukuman mati bagi koruptor.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
"Fenomena korupsi di Indonesia semakin menggurita, akut, dan sistemik, serta menjadi pandemi hukum yang masuk dalam setiap lapisan masyarakat. Efek jera harus dimaknai sebagai upaya preventif membuat setiap orang takut melakukan korupsi," ujar Burhanuddin, Kamis (18/11/2021).
Hukuman mati bagi koruptor telah digariskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pemberantasan Korupsi.
Dalam penjelasan beleid itu, pidana mati dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, seperti rasuah dana penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan tindak pidana korupsi.
Konsep residivis tidak efektif Burhanuddin meminta frasa pengulangan tindak pidana sebagai syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor dikaji ulang.
Sebab jika merujuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), konsep residivis dimaknai jika seseorang mengulangi perbuatan pidana setelah dikembalikan ke masyarakat.
Jika diterapkan dalam tindak pidana korupsi, Burhanuddin menilai konsep residivis itu tidak akan berjalan efektif dan menimbulkan efek jera.
Sebab, koruptor dapat melakukan korupsi di berbagai tempat dengan modus yang berbeda.
"Jika pelaku sudah diputus dengan hukuman penjara dan pelaku tersebut telah melakukan perbuatan korupsi di tempat lain, apakah terhadap pelaku tersebut dapat dikenakan pengulangan tindak pidana dalam korupsi? Isu hukum ini patut kita renungkan bersama dan kaji lebih dalam," terang Burhanuddin.
Diketahui, saat ini Kejagung melalui Direktorat Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM-Pidsus) tengah menangani perkara dugaan megakorupsi pada PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI).
Dua terdakwa dalam perkara yang merugikan negara Rp 22,788 triliun itu adalah Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro.
Heru dan Benny sebelumnya juga terseret dalam skandal korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang mengakibatkan kerugian negara Rp 16,807 triliun.
Dalam kasus itu, keduanya telah dihukum pidana penjara seumur hidup.
Sedangkan pada perkara ASABRI, keduanya masih menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta. [As]