Penghijauan jadi salah satu andalan perusahaan manapun untuk menekan emisi karbon serta sebagai kewajiban yang sudah tertuang dalam regulasi saat pemanfaatan lahan untuk berbagai kegiatan produksi dan pengolahan sumber daya alam.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan saat ini dunia dihadapkan pada tantangan untuk mengendalikan emisi Gas Rumah Kaca (GRK).
Baca Juga:
Hari Anti Korupsi Sedunia, SKK Migas Pertahankan Sertifikasi Sistem Manajemen Anti Penyuapan
"Perusahaan-perusahaan minyak pun sudah beberapa punya target net zero emission atau karbon netral di 2050," katanya.
Salah satu emisi yang tinggi di industri migas adalah gas metana.
"Metana punya global warming potential sebesar 20x dari CO2. Jadi, mengurangi gas metana, dari sudut pandang pengendalian emisi GRK sebenarnya lebih cost effective," ungkap Fabby.
Baca Juga:
Kontrak EPCI Proyek Tangguh UCC Senilai Rp 56,5 Triliun Ditandatangani
Fabby juga mengatakan teknologi CCUS dikombinasi dengan EOR bisa meningkatkan produksi migas. Hanya saja, investasi CCUS cukup mahal, setara dengan 100-120 dolar AS/ton CO2. "Jadi kalau mau diberikan insentif bisa saja," ujarnya.
Vorwata Enhanced Gas Recovery (EGR) CCUS di Papua akan menjadi proyek pertama di Indonesia. Melalui proyek ini, gas CO2 yang diproduksi akan diinjeksi kembali ke dalam reservoir Vorwata untuk membantu meningkatkan produksi gas.
Nader Zaki, Presiden BP Indonesia, menyatakan secara total, jumlah CO2 yang diinjeksikan akan mencapai 25 juta ton pada 2035 dan 33 juta ton pada 2045.