Namun demikian, Supardi enggan menjelaskan secara rinci mengenai program investasi mana yang diendus oleh Kejagung lantaran diduga melanggar hukum.
"Nanti saatnya akan diputuskan hasilnya. Saya tidak mau bicara materi. Yang penting clue seperti tadi," ucap dia.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi Impor Gula, Kejagung Periksa Eks Stafsus Mendag
Berdasarkan Laporan Keuangan Audit BPJS Naker Tahun 2020, total dana investasi yang berasal dari iuran peserta JHT sebesar Rp340,751 triliun.
Angka itu jauh lebih besar ketimbang dana investasi dari JP (Rp79,437 triliun), JKK (Rp40,55 triliun), JKM (Rp14,653 triliun), dan aset BPJS Naker (Rp11,666 triliun).
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI yang digelar pada (15/9/2021), Direktur Investasi BPJS Ketenagakerjaan Edwin Michael Ridwan mengatakan bahwa pihaknya masih menunggu payung hukum untuk memangkas kerugian (cut loss) dalam portofolio investasi agar tak masuk dalam ranah kerugian negara atau korupsi.
Baca Juga:
Korban DNA Pro Menangis Minta Keadilan di Kejari Bandung: Desak agar Uang Sitaan segera Dikembalikan
Dalam catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan masih negatif Rp32,8 triliun per Juli 2021.
Nilai tersebut disebabkan unrealized loss penurunan kinerja saham yang diinvestasikan akibat pandemi Covid-19.
Kasus dugaan korupsi ini telah disidik oleh Kejagung sejak awal 2021 lalu. Surat perintah penyidikan nomor: Print-02/F.2/Fd.2/01/2021 diteken semasa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus dijabat oleh Ali Mukartono.