Sadariah mengaku sempat kesulitan memenuhi permintaan buyer. Selain tenggang waktu yang terbatas, Sadariah juga sempat diragukan banyak warga termasuk keluarga.
"Ternyata itu tantangan terberatnya, karena kondisi yang saya harapkan tidak sesuai di lapangan. Awal-awalnya kita juga ditipu, pahit-pahitnya saya harus ke beberapa daerah, untuk mencari sapu lidi, termasuk membuat postingan di Facebook, mencari informasi jika ada yang bersedia membantu saya menyiapkan sapu lidi," terangnya.
Baca Juga:
Kebijakan Proteksionisme Trump Berpotensi Pukul Ekspor Indonesia
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Sadariah melakukan berbagai macam cara, termasuk memperbanyak edukasi ke masyarakat terkait potensi dari limbah daun kelapa yang selama ini banyak diabaikan oleh warga.
Sadariah juga berupaya menjalin kerjasama dengan beberapa kelompok masyarakat, termasuk pengelola sekolah madrasah tempatnya menuntut ilmu beberapa tahun lalu.
"Waktu itu, saya ingin memperkenalkan sekolah saya melalui momentum sapu lidi ini. Jadi saya mengajak mereka bekerjasama. Melalui pihak sekolah, saya meminta adik-adik untuk menyiapkan sapu lidi, berapapun jumlahnya akan saya ambil dan beri nilai," ungkapnya.
Baca Juga:
Mendag Budi Lepas Kontainer ke-400.000 Produk Makanan Olahan ke 15 Negara
Hanya saja, diakui Sadariah, upayanya melibatkan sekolah tempatnya menuntut ilmu untuk memperlancar ekspor perdana sapu lidi sempat menuai sorotan.
"Sempat disoroti, padahal awalnya saya hanya ingin membantu adik-adik. Saya tidak pernah memaksakan mereka. Saya hanya berpikir, apa yang saya lakukan bisa meringankan beban ekonomi para murid, mereka tidak perlu lagi meminta uang kepada orang tua, untuk memenuhi kebutuhan kecil," beber Sadariah.
Keraguan warga akhirnya berhasil dijawab Sadariah, dengan kesuksesan melakukan ekspor perdana pada Jumat (23/4) lalu.