"Perlindungan habitat dan pencegahan perdagangan ilegal menjadi tantangan utama," kata Prof. Satyawan.
Ia menambahkan bahwa pemerintah telah memperkuat regulasi konservasi, salah satunya melalui UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang menekankan pentingnya konektivitas ekosistem.
Baca Juga:
BPS Kalbar Catat Penurunan Ekspor Februari 2025 Sebesar 13,72 Persen
Sejak 2006 hingga 2024, sebanyak 91 individu orang utan korban perdagangan ilegal telah direpatriasi, baik dari Malaysia maupun Thailand. Untuk menekan angka perdagangan satwa, pendekatan multidimensi seperti penguatan hukum, pemberdayaan masyarakat, serta kerja sama internasional terus dikedepankan.
Tidak hanya itu, penggunaan teknologi dan inovasi juga menjadi sorotan. Inventarisasi keanekaragaman hayati, pemantauan habitat, hingga mitigasi konflik manusia dan orang utan mulai memanfaatkan teknologi digital untuk hasil yang lebih akurat dan cepat.
"Dunia usaha juga kami dorong untuk berperan aktif dalam konservasi. Praktik bisnis berkelanjutan, restorasi habitat, hingga edukasi konservasi karyawan dan masyarakat luas sangat dibutuhkan," kata Prof. Satyawan.
Baca Juga:
Pemprov Kalbar Prioritaskan Peningkatan IPM dalam RPJMD Tahun 2025–2029 Mendatang
Melalui FGD regional ini, Kalimantan Barat menunjukkan komitmennya untuk menjaga eksistensi orang utan sebagai satwa kunci dan endemik.
Dengan kolaborasi lintas sektor, data yang terverifikasi, dan strategi yang menyentuh berbagai dimensi, diharapkan konservasi orang utan tak hanya menjadi agenda nasional, tetapi juga tanggung jawab bersama demi masa depan keanekaragaman hayati Indonesia.
[Redaktur: Patria Simorangkir]