Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030.
Sektor energi memiliki kontribusi untuk menurunkan emisi lebih dari 300 juta ton karbon dioksida dengan upaya sendiri dan mencapai hampir 450 juta ton dengan bantuan internasional.
Baca Juga:
Diskon 50 Persen Tarif Listrik Tidak Diperpanjang, Ini Informasi Lengkapnya
Dalam peta jalan transisi energi, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2021, bauran energi terbarukan tercatat baru menyentuh angka 11,7 persen dengan total kapasitas listrik saat itu mencapai 74 gigawatt.
Setelah 2030, tambahan pembangkit listrik hanya bersumber dari pembangkit energi terbarukan. Mulai 2035, pembangkit listrik akan didominasi oleh energi terbarukan variabel dalam bentuk tenaga surya, lalu diikuti tenaga angin dan arus laut pada tahun berikutnya.
Kemudian pembangkit tenaga nuklir akan masuk ke dalam sistem kelistrikan mulai 2049. Hidrogen dan baterai juga akan dimanfaatkan secara gradual mulai 2031 dan secara masif pada 2051 hingga 2060.
Baca Juga:
Gebrakan 100 Hari, Presiden Prabowo Resmikan 37 Proyek Ketenagalistrikan Nasional
Program transisi energi dari fosil ke energi terbarukan tidak hanya akan meningkatkan porsi bauran energi bersih di dalam negeri, tetapi juga mengurangi biaya pokok penyediaan listrik hingga mereduksi emisi gas rumah kaca untuk menekan dampak perubahan iklim yang bisa menimbulkan bencana alam.
Dukungan pelaku usaha
Dalam memuluskan rencana transisi energi, Pemerintah Indonesia mendapatkan berbagai dukungan dari pelaku usaha baik itu perusahaan pelat merah maupun swasta, seperti Pertamina dan PLN yang menjadi pemain utama dalam program transisi energi di Indonesia.